Prolog (section 4)



Hari itu telah tiba. Aldiana baru sampai di kecamatan dan menyadari jika para pegawai tengah berbaris di halaman kantor itu. Gadis itu agak panik karena mengira apel pagi telah dimulai dan mempercepat langkahnya menuju halaman kecamatan. Rasanya memalukan jika dia terlambat di hari pertamanya bekerja.

Saat tiba di halaman kecamatan, Aldiana mengatur napasnya yang memburu. Beruntung apelnya akan dimulai sebentar lagi sehingga pemimpin apel masih merapikan barisan para pegawai tersebut. Saat Aldiana memasuki barisan, seorang wanita berkerudung pink pastel bermotif itu memperhatikannya.

"Pegawai baru ya?" tanyanya pada Aldiana. Gadis itu merespon dengan anggukan pelan dan tersenyum canggung.

"Oooooooh! Jadi kamu tho orangnya?" seru wanita itu cukup heboh dan membuat semua orang menoleh ke arah mereka sembari menatap tajam. Suasana itu membuat Aldiana dan wanita itu malu sendiri.

"Maaf ya neng, ibu kelepasan." gumamnya lirih.

"Gak apa bu, hehehe…" balas Aldiana sambil tertawa garing. Perhatiannya kini teralihkan pada pemimpin apel yang mulai memberikan aba-aba dan pembina apel telah memasuki lapangan apel itu. Suasana apel berlangsung singkat dan khidmat saat itu. Camat hanya mengumumkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada minggu ini dan mengevaluasi kegiatan minggu lalu. Begitu apel selesai dan barisan dibubarkan, ibu itu kembali menghampiri Aldiana.

"Neng, ditempatin di kelurahan apa kecamatan?" tanyanya dengan raut wajah penasaran.

"Di kelurahan, bu. Kelurahan Karamat."

Ibu itu terperangah lalu tertawa lepas sembari menepuk lengan Aldiana berulang-ulang. Aksi itu tentu saja menjadi perhatian beberapa pegawai dan akhirnya mendekati mereka berdua. Aldiana jadi malu sendiri.

"Hahahah, itu mah tempatnya ibu, neng! Kita sekantor dong!" ujar ibu itu di sela tawanya. Yang lain mulai heboh.

"Wah, si neng geulis* ditempatin di Karamat? Asik atuh!"

"Neng PNS juga ya? Berarti lulusan kampus di Jatinangor itu dong? Apa sih namanya? APDN?"

"Lha, adik kelasnya Pak Tirta sama Pak Surya berarti? Asik bener Kelurahan Karamat nih! Bagi-bagi lha ke kelurahan lain!"

Aldiana memperhatikan omongan salah satu pegawai tadi. Sepertinya dia pernah mendengar atau melihat nama itu. Di saat gadis itu masih memikirkan hal itu, dirinya diminta untuk menghadap di ruang kerja camat oleh salah satu pegawai kecamatan. Oh iya, seharusnya dia memperkenalkan dirinya terlebih dahulu pada camat. Saat berjalan masuk ke dalam ruangan kerjanya, ada pria paruh baya yang tengah merapikan dokumen di mejanya dan dia adalah pembina apel yang memberikan pengarahan tadi.

"Oh iya, silakan, bu! Maaf lagi agak berantakan…" ujar pak camat yang masih sibuk merapikan dokumennya. Aldiana hanya mengangguk pelan sambil duduk di kursi tamu. Di saat itu juga, seorang pegawai masuk ke dalam ruangan camat sambil mengucapkan salam.

"Izin masuk, pak."

"Oooooh, pak seklur! Silakan masuk!"

Aldiana menatap pegawai yang disebut 'seklur' itu. Dipandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, pegawai itu terlihat masih sangat muda untuk ukuran sekretaris lurah. Dilihatnya papan nama pegawai itu, namanya adalah Tirta Wardhana. Eh tunggu…

Berarti, dia yang disebut sebagai 'Pak Tirta' itu?, pekik Aldiana dalam hati.

"Permisi? Apa ada sesuatu?"

Aldiana tersadar ketika Tirta memanggilnya dan mata mereka bertemu satu sama lain. Sesaat Aldiana langsung memalingkan wajahnya dan menundukkan kepalanya malu-malu. Camat itu mulai memperhatikan kedua tamunya begitu selesai dengan dokumennya.

"Kalian sudah saling mengenal ya?" tanya camat itu sambil duduk di kursi tamu. Tirta dan Aldiana hanya menggeleng sebagai respon.

"Saya baru pertama kali ini bertemu dengannya, pak." jawab Tirta lugas.

"Aaaaah ya ya. Begini, hari ini kan ada pegawai baru yang juga alumni sekolah kepamongprajaan di OPD kita, tepatnya di Kelurahan Karamat. Singkat kata, pegawai ini adalah anak buah langsungnya Pak Tirta gitu." kata camat sambil melirik ke arah Aldiana. "Mungkin ibu bisa memperkenalkan diri?"

"Ah iya, nama saya Aldiana Chandra Praditha. Asal saya dari Bandung dan sebelumnya saya ditempatkan di kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Salam kenal." kata Aldiana sambil melirik ke arah camat dan juga Tirta. Camat hanya mengangguk pelan.

"Oh, Aldiana ya?" gumam Tirta sambil menatap Aldiana cukup lama. "Kenal saya gak?"

Ups, raut wajah Aldiana berubah. Itu adalah pertanyaan yang paling tidak disukai olehnya, apalagi jika yang bertanya adalah seorang senior kampusnya. Melalui pertanyaan inilah, senior mulai berceramah panjang lebar dan menganggap juniornya tidak respek. Ya gimana mau respek, dia aja belum memperkenalkan diri dan juga baru kali ini tatap muka, gumam Aldiana setiap mendengar pertanyaan ini.

"Uh, belum. Kan kita baru ketemu, pak. Hehehe…" kata Aldiana sambil tertawa garing. Surai hitam kecoklatan itu menatap Aldiana cukup lama dan ditambah dengan ekspresi stoicnya membuat gadis itu tidak nyaman.

"Uh…, siap salah…" gumam Aldiana dengan suara pelan. Tirta hanya menghela napas panjang lalu mengangguk pelan.

"Ya betul. Kita baru ketemu." kata Tirta singkat sebelum perkenalan. "Nama saya Tirta Wardhana. Umur 28 tahun. Sekretaris lurah di Kelurahan Karamat. Saat ini saya mewakili Lurah untuk menyambutmu."

"Kalo saya Ikhsan Ramadhani, bu. Bisa dipanggil Ikhsan kalo di luar jam kerja." kata camat itu setelah Tirta selesai memperkenalkan dirinya. Dia pun tersenyum ke arah Aldiana.

"Saya berharap bu Aldiana bisa betah bekerja di wilayah Kecamatan Gunung Puyuh, khususnya di Kelurahan Karamat. Secara pribadi, saya cukup senang ketika ada PNS muda masuk dalam bagian OPD ini karena kelak kalian yang akan mengisi jabatan yang ada disini. Benar kan?" ujar camat itu disambut dengan anggukan Aldiana dan Tirta. Sesaat dia mengecek arlojinya dan kembali menatap dua tamunya itu.

"Saya rasa perkenalan ini sudah cukup. Mohon diarahkan untuk ke depannya, pak seklur. Mungkin bapak bisa memberitahu pak lurah juga soal bergabungnya bu Aldiana."

"Siap pak. Kalo begitu, kami mohon pamit." kata Tirta sambil mengajak Aldiana keluar dari ruangan camat. Setelah berpamitan, Aldiana mengikuti jejak Tirta keluar kantor dan berjalan ke arah parkiran.

"Sudah tau lokasi kelurahannya?" tanya Tirta tanpa memandang Aldiana karena sibuk mengambil kunci motor dari sakunya.

"Sudah, pak. Ehm, waktu itu nyarinya dibantu sama ojek online, pak. Jadi--"

"Berhubung sedang berdua, kamu tidak perlu memanggil saya 'bapak', panggil saja 'kakak', 'abang', atau sebutan lainnya. Beda kalo lagi bertugas ya."

Aldiana terperangah. Nada suara Tirta saat itu terdengar bersahabat, tidak seperti saat di ruangan tadi -- rendah dan menakutkan. Mungkin pimpinannya ini memiliki sifat lain di balik wajahnya yang stoic itu, siapa tahu...

~000~

Prolog - end -


Ket: 
Geulis: cantik (bhs Sunda) 

Posting Komentar

0 Komentar