Chapter 3 (section 3)



Ruangan berwarna hijau pastel yang lembut ini tidak membuat hawa negatif di dalam ruangan sekretaris lurah itu pudar begitu saja. Aldiana memandang Surya cukup lama sambil mencari tahu apa yang terjadi dengan bosnya itu. Ekspresi tertekuk, memangku dagu, dan terdiam tanpa respon meskipun Aldiana sudah masuk ke dalam ruangannya.
Satu tangan lurah itu tengah memegang sebuah tablet dan tangan yang lain tengah bergerak menyentuh layarnya dengan cepat.

"Izin pak…" sapa Aldiana sebagai tanda kehadirannya di ruangan itu. Menyadari ada suara, Surya melihat ke arah pintu dan menangkap sosok gadis berambut coklat itu tengah berdiri disana. 

"Oh iya, silakan." kata Surya sambil mempersilakan Aldiana dengan ekspresi datar. "Ada tanda tangan surat lagi?"

"Ada pak. Yang ini." Aldiana memberikan draft surat pada Surya. Tangannya sedikit gemetar saat memberikan surat itu dan berharap dia segera keluar dari sini, karena dia merasa kikuk di hadapan lurahnya ini dan juga terbayang dengan wajah suramnya Timothy saat keluar dari ruangan ini. Gadis itu mulai memandang wajah Surya cukup lama, kira-kira apa yang akan terjadi?

"Hmmm, kamu yang bikin suratnya?" tanya Surya mendadak. Aldiana langsung mengangguk dengan spontan. Tanpa berkata apapun, Surya langsung mengambil pulpennya dan mulai mencoret beberapa kata di draft surat itu lalu menambahkan beberapa kalimat perbaikan. Aldiana memperhatikan gerak-gerik pimpinannya itu cukup lama.

Sepertinya tidak ada yang aneh, pikir gadis itu. Lalu apa yang terjadi dengan Kang Moty ya? 

"Aldi?" 

"O-oh iya pak!" seru Aldiana refleks ketika Surya memanggilnya. Pemuda itu hanya tersenyum kecil sambil menunjukkan draft surat yang penuh dengan coretan pada Aldiana. 

"Banyak sekali kesalahan di surat itu." ungkap Surya sambil melipat tangannya di dada. "Ini beneran kamu yang buat? Masa purna praja bikin suratnya seperti ini? Jangan bilang kalo kamu bolos mata pelatihan tata naskah dinas dulu…"

DONG! Aldiana merasakan ada nyeri yang sangat hebat di hatinya mendadak. Padahal ekspresinya Surya tampak biasa saja, namun kalimat yang keluar terdengar sangat ofensif baginya. Jujur saja, gadis itu paling membenci jika ada yang menyebut julukan alumni kampusnya ketika sedang dikoreksi. Itu serasa seperti sedang dilecehkan daripada sedang dikoreksi kesalahannya. Namun apa mau dikata, kali ini gadis itu harus menahan emosinya. 

“Siap salah.” gumam Aldiana pelan, bahkan nyaris tanpa suara. 

“Ya sudah, perbaiki saja sesuai dengan arahanku disitu.” ujar Surya sambil memberikan draft surat itu pada Aldiana. Si penerima surat itu mengambil surat itu dan berjalan keluar dari ruangan dengan ekspresi kesal. Kini dia mulai mengerti kenapa Timothy berekspresi demikian setelah keluar dari ruangan lurah. Begitu sampai di meja pelayanan, Aldiana meletakkan draft surat itu dan duduk di sebelah Timothy yang masih mengetik draft surat yang baru saja diperbaiki. 

“Eh, teh Aldi kok muram? Jangan bilang abis diceramahin sama pak Surya?” tanya Timothy. 

“Ya menurutmu? Masa aku main gaplek sama pak lurah?” tukas Aldiana dengan ekspresi gusar. Timothy hanya menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri sebagai gestur berhenti berbicara pada gadis itu. 

“Sssst, jangan keras-keras, teh!” pekik Timothy. “Kita masih ada tamu!”

Aldiana melihat ke arah seorang ibu yang masih duduk di kursi pelayanan. Dari gerak-geriknya, dia tampak bosan karena surat yang dia minta belum jadi-jadi. Kesian, ibu ini harus menunggu cukup lama, pikir Aldiana.

~000~


to be continued

Posting Komentar

0 Komentar