
"Jadi begitu ceritanya, teh."
Aldiana mendengus setelah mendengar penjelasan dari Timothy sembari berpangku dagu di atas meja kerjanya. Pemuda berambut coklat cerah itu memperhatikan gelagat pegawai baru itu intens meskipun bibirnya tengah menahan senyum.
"Ini ide siapa sih yang ngadain briefing jam 7 pagi?" gerutu Aldiana keki. "Batas presensi tuh jam 7.30, kan? Atau aku salah jam masuk pula?"
"Pak lurah yang mulai, neng." timpal bu Eneng yang ikut bergabung dengan Aldiana dan Timothy. "Udah dua tahun lebih kalo gak salah mah. Jadinya udah terbiasa gitu, neng."
Aldiana mengangguk dan bergumam secara spontan. "Hebat ya. Salut deh."
Timothy dan bu Eneng hanya tersenyum mendengar ucapan Aldiana yang lugu. Di saat itu, Pakkei melewati mereka sambil membawa buku folio berwarna biru dengan motif batik.
"Tapi kalo pak lurah sama pak seklur nggak ada mah, pasti nggak ada briefing, neng." ujar Pakkei sambil menaruh buku folio itu di meja dan membukanya. Meskipun dirinya tengah fokus dengan buku itu, Pakkei kembali berkata, "bahkan kalo nggak ada berita terbaru pasti gak ada briefing. Jadinya diganti dengan sarapan bareng atau ngopi bareng."
Aldiana hanya tersenyum miris. Sudah kuduga, gumam pelan itu muncul di pikirannya. Tapi di sisi lain, gadis itu tetap mengagumi cara pegawai-pegawai itu melakukan kegiatan alternatif selain briefing itu sehingga mereka sudah terbiasa datang pagi. Satu hal kecil yang cukup sulit diterapkan di lingkungan kerja seperti kelurahan ini.
"Punteeeeeen--"
Seluruh pegawai menoleh ke arah sumber suara. Di sana ada seorang ibu dan anak laki-laki tengah menunggu di depan pintu ruangan sambil sesekali mengintip ke dalam ruangan. Timothy dan Aldiana terkesiap dan langsung menuju meja pelayanan dengan cepat.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Aldiana dengan sopan. Ibu itu berjalan menghampiri meja pelayanan dan menaruh beberapa kertas fotokopian disana. Setelah duduk menghadap dua pegawai muda itu, ibu itu berbicara sembari memangku anak laki-laki itu.
"Saya mau membuat surat ahli waris, bu. Ini nama almarhumah ibu saya. Baru meninggal seminggu yang lalu."
Aldiana memperhatikan sang ibu yang menyodorkan Kartu Keluarga dan KTP milik almarhumah ibunya kepada Timothy. Pemuda berambut coklat itu membacanya dengan seksama dan sesaat dia mengalihkan pandangan pada ibu tersebut.
“Udah ada surat kematiannya? Lalu surat pernyataan ahli waris udah ada? Surat pengantar RT/RW juga ada?” tanya Timothy nyaris tanpa jeda. Ibu itu hanya menggeleng pelan dan menatap Timothy dengan tatapan lugu.
“Katanya bisa langsung kesini aja, pak.”
“Waduh gak bisa, bu.” balas Timothy dengan ekspresi menyesal. “Kalo yang ini harus ada surat pengantar dari RT/RW, bu.”
“Tapi pak RT sama pak RW-nya lagi kerja, a. Saya aja ini bela-belain izin dulu buat ngurusin surat waris.” timpal ibu itu lagi tidak mau kalah. “Masa saya harus bolak-balik sih?”
“Trus yang bilang katanya katanya itu siapa, bu?”
“Ada yang bilang pokoknya. Tetangga saya bilangnya gak apa langsung aja ke kelurahan.”
“Gak bisa gitu, bu. Sekarang udah harus tertib administrasi, jadinya setiap surat yang diterbitin di kelurahan harus ada surat pengantar RT/RW dulu…”
“Lha, kalo saya gak ketemu sama pak RT-nya gimana, a? Kan ribet? Saya ambil izin dari kantornya susah lho!”
Aldiana hanya termanggu melihat Timothy dan ibu itu berdebat. Masih pagi udah rame, pikir Aldiana. Dia pun mencoba menjadi penengah di antara mereka, namun di saat itulah muncul Tirta di dekat pintu pelayanan dan menyaksikan perdebatan itu.
“Ada apa ini?” tanya Tirta tiba-tiba sehingga membuat ibu itu dan Timothy terdiam cukup lama. Ibu itu langsung bangkit dari tempat duduk lalu mendekati Tirta sambil menyodorkan berkas fotokopian padanya. Ekspresinya tampak memelas.
“Pak, saya mau bikin surat keterangan ahli waris, tapi malah dipersulit nih sama aa-nya!” kata ibu itu sambil melirik ke arah Timothy dengan tatapan sadis. Timothy hanya cengo sementara Aldiana merasa kesal melihat tingkah ibu itu di depan pimpinannya itu. Dia merajuk rupanya, sial!, rutuk Aldiana dalam hati.
“Oh? Dipersulit gimana ya?” tanya Tirta singkat dan sesekali melirik ke arah Timothy dan Aldiana seakan-akan meminta konfirmasi dengan apa yang terjadi. Aldiana pun buka suara.
“Ibu ini mau bikin surat keterangan ahli waris, tapi nggak ada surat pengantar dari RT/RW. Cuman gitu, pak.” ujar Aldiana singkat. Tirta mengangguk paham dan mulai mengecek berkas-berkas yang disodorkan oleh ibu tersebut.
“SIlakan duduk dulu.” kata sekretaris lurah itu sambil mempersilakan ibu itu duduk di kursi tamu bersama dengan anak laki-lakinya yang sedari tadi memainkan ponsel pintarnya. Setelah agak lama, akhirnya Tirta kembali berbicara.
“Yang dikatakan pegawai saya itu benar, bu. Semua administrasi di kelurahan wajib menggunakan surat pengantar RT/RW sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya tertib administrasi di kelurahan gitu, bu.” jelas Tirta panjang lebar. “Lagipula, kalo ada kenapa-kenapa kek ada penyalahgunaan atau apapun itu, baik RT/RW dan pihak kelurahan punya bukti kuat. Saya harap ibu bisa memaklumi karena ini untuk kebaikan bersama juga.”
Ibu itu mengangguk pelan sambil bergumam ‘oh’ cukup panjang. Sesaat ibu itu kembali bertanya, “kalo ketua RT sama RW-nya lagi nggak ada, gimana?”
“Kalo nggak ya, janjian dulu sama ketua RT/RW-nya biar ibu gak bolak-balik. Palingan itu saran dari saya.” ujar Tirta mengakhiri penjelasan itu. Dia pun menoleh ke arah Aldiana dan memberikan berkas-berkas itu padanya.
“Buatkan surat pernyataan ahli waris.” ujarnya singkat. Aldiana langsung mengangguk mantap dan memegang berkas itu, sementara Timothy langsung duduk dan mengerjakan surat pernyataan itu. Jari-jari tangannya menekan setiap keypad dengan gesit, bahkan setiap hentakan di tiap tombolnya terdengar sangat nyaring. Aldiana yang sedari tadi menyebut nama-nama ahli waris itu langsung pecah konsentrasi.
“Kang, santai aja ngetiknya…” ujar Aldiana pelan dan disambut dengan senyum tengsin dari Timothy dan pergerakannya mulai agak diperlambat.
~000~
To be continued
0 Komentar