Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Ini berarti sebentar lagi akan memasuki jam makan siang. Bu Eneng pun mencolek bahu Timothy yang tengah memijit kepalanya karena lelah dengan rekapan data kependudukan.
“Moty! Temenin ibu buat belanja! Hayang ngaliwet, yeuh!” kata Bu Eneng mantap. Timothy hanya mengangguk pelan, bangkit dari tempat duduknya, mengambil dua helm yang ada di bawah meja pelayanan lalu berjalan menuju parkiran bersama Bu Eneng.
"Oh iya, saya sama Pak Eep mau ke lapangan dulu bentar. Meninjau pembangunan P2RW tea, neng." ujar Pak Enda sambil menoleh ke arah Aldiana yang sedang menutup buku register kependudukan. Gadis itu merespon dengan anggukan pelan dan melirik ke arah Pak Enda dan Pak Eep yang menghilang di balik pintu. Kini Aldiana melirik ke arah Pakkei yang sedang menaruh dokumen di laci mejanya.
"Neng, saya mau beli kretek dulu." ujar Pakkei tanpa basa-basi dan bangkit dari tempat duduknya. Aldiana heran, kenapa semua orang pergi di waktu yang sama?, pikirnya.
Setelah Pakkei keluar dari gedung kelurahan, Surya pun muncul di pintu ruangan pelayanan dengan ekspresi heran. Lurah itu tidak menemukan siapapun, kecuali Aldiana yang memasang ekspresi yang sama sepertinya. Sesaat dia pun melirik ke arlojinya lalu menarik napas panjang hingga terdengar suara desah pasrah dari mulutnya.
“Aaah…, jam segini ya.” gumam Surya sambil duduk di kursinya Pakkei yang posisinya cukup dekat dengan Aldiana. Gadis itu berusaha menjaga jarak dari Surya, terlebih lagi ketika dia mengingat kejadian dengan seorang pria beberapa waktu yang lalu. Apakah lurahnya ini masih marah akibat kejadian tadi?, begitu pikirnya.
“Aldi, ngapain menjauh begitu?” tanya Surya mendadak ketika mengetahui posisinya dengan Aldiana menjauh beberapa senti.
“Kok bapak tau?”
“Kursinya bunyi lha kalo digeser gitu.” jawab Surya singkat. “Eh, lagian kalo nggak ada siapa-siapa kek gini, panggilnya jangan resmi-resmi amat. Aku jadi ngerasa tua banget rasanya.”
“Oh, oke. Kak--”
“Abang.” koreksi Surya cepat dan membuat gadis itu jiper lagi.
“Ma-maaf, bang.” bisik Aldiana sedikit takut.
“Eh iya, seklur dimana?” tanya Surya lagi sambil melirik ke arah ruang sekretaris lurah yang tertutup. Aldiana merespon dengan gelengan pelan dan tanpa mengucapkan sepatah kata. Melihat juniornya yang menggelengkan kepala seperti itu, Surya menghela napas panjang lagi dan mengambil ponsel pintar di saku celananya. Matanya menerawang ke arah layar ponsel dan jari-jarinya bergerak dengan lincah seakan-akan dia tengah mengetik sesuatu di layarnya.
“Uhm, abang mau menghubungi kak Tirta?” tanya Aldiana penasaran.
“Menurutmu?” timpal Surya balik sambil menatap Aldiana dengan tatapan heran. Yang ditatap langsung mengalihkan pandangan dengan malu-malu.
“Yah, dikiranya sih gitu…” gumam Aldiana dengan suara seperti berbisik.
Lagi-lagi suara hela napas panjang itu muncul. Surya kembali memperhatikan ponselnya ketika balasan pesannya muncul di layar lalu mulai mengetik jawaban untuknya. Melihat Surya yang sibuk dengan ponselnya, Aldiana merasa tidak nyaman. Lagi-lagi bayangan Surya yang menakutkan muncul kembali di ingatannya.
Kenapa dia begitu senewen? Apa jangan-jangan ada masalah?, pikir Aldiana sembari terus menatap Surya. Di saat itu dia baru menyadari satu hal. Meskipun sedang memasang ekspresi serius, wajahnya terlihat tampan seperti artis di negeri timur sana. Kalo istilah Jepangnya sih, ikemen gitu. Tapi yah, tiap ekspresinya memiliki aura tersendiri dan yang kini dirasakan oleh gadis itu adalah aura mencekam nan suram.
“Tirta ini, aish…” gumam Surya senewen sambil meletakkan ponselnya di meja. Aldiana terkejut dan memperhatikan atasannya dengan tatapan penasaran.
“Ng, kenapa bang?” tanya Aldiana spontan.
“Huft, gak apa-apa.” respon Surya cuek. Sembari mengusap keningnya yang membuat poninya terangkat sedikit, Surya mengalihkan pandangan ke Aldiana.
“Oh iya, kamu alumni baru kan ya? Kamu kenal Yoga nggak?”
Sempat terpana, gadis itu agak gelagapan ketika Surya bertanya. Mendengar pertanyaan Surya yang mendadak, Aldiana langsung berpikir.
“Kak Yoga yang pengasuh itu? Yah, pernah ketemu sih, bang.” ujar Aldiana singkat. Surya hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil, bahkan terdengar suara tawa kecil yang tertahan di bibirnya.
“He? Ada apa, bang?”
“Nggak, dia teman angkatanku. Sampai sekarang aku tidak menduga dia menjadi pengasuh di kampus, padahal dia itu paling benci berhadapan sama pengasuh! Hahahahah!” jawab Surya yang diakhiri dengan gelak tawa. Aldiana pun ikut tersenyum setelah melihat tawa Surya yang lepas itu meski dia tidak mengetahui apa yang lucu disitu. Tidak masalah, asalkan pimpinannya itu kembali tersenyum, itu sudah cukup, pikirnya.
“Oh iya, aku mau tanya.” ujar Surya lagi. “Tapi ini sesuatu yang pribadi sih.”
“Iya? Apa itu?”
“Kamu sudah punya suami?”
Suasana mendadak hening ketika Surya menanyakan hal itu. Dalam keheningan itu, Aldiana menatap Surya cukup lama dan hanya menggeleng pelan sebagai respon. Lurah itu hanya diam saat melihat gestur juniornya itu dan kini mendekati gadis itu hingga jarak wajah mereka hanya beberapa senti. Aldiana tidak mengerti kenapa Surya mendekatinya dan wajahnya terasa panas mendadak. Pikirannya mulai kacau, apa yang akan dilakukan oleh pimpinannya itu? Jangan-jangan---
“Kukira kamu sudah punya suami, Di.”
“He?”
Setelah berkata demikian, Surya memundurkan posisinya dan kembali ke tempat duduknya sambil mengambil ponselnya lagi. Melihat pimpinannya seperti itu, Aldiana merasa malu sendiri. Dia mendekat begitu hanya untuk mengatakan hal itu? Malu rasanya ketika dia berpikir aneh-aneh tadi, atau dia terlalu berharap?
Kini keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, hingga suara Timothy yang khas terdengar dari pintu masuk kelurahan.
~000~
to be continued
0 Komentar