Chapter 7 (section 4)



“Eeeeeh, eneng! Gimana yang data DKM tea? Udah kan ya?”


Aldiana gelagapan ketika Bu Eneng menanyakan data DKM itu. Melihat Bu Eneng yang tampak riang membuat Aldiana penasaran, apakah Bu Eneng sudah melupakan kejadian dua hari yang lalu?


“U-udah bu.” jawab Aldiana sedikit tertahan. “Saya sudah bawa datanya ke bagian Kesra, bu.”


Bu Eneng terkekeh pelan. “Baguslah neng sayangku. Oh iya, nanti siang kita makan bareng yuk? Berdua aja.”


Aldiana meresponnya dengan senyuman tipis. Sepertinya keadaan kembali seperti sedia kala, pikirnya. Di saat itu, Tirta datang menghampiri Aldiana dan Bu Eneng sambil membawa sepucuk surat beserta dengan kertas disposisinya.


“Ada tugas lagi buat kesos nih.” kata Tirta lagi. “Ada rapat terkait bantuan sosial dari Dinas Sosial. Acaranya nanti jam 10 pagi.”


Gadis itu mengecek jam dinding di ruang pelayanan itu dan menunjukkan pukul 8 pagi. Masih ada waktu dua jam sebelum rapat, pikirnya. Bu Eneng langsung menoleh ke arah Aldiana dan memegang tangannya. 


“Neng, ikut ibu rapat yuk?” pintanya dengan nada manja. Aldiana yang tidak punya pilihan lain hanya mengangguk pelan. 


“Beneran gak ada kesibukan lain, kan?”


Aldiana menggeleng pelan.


“Gak bakalan kemana-mana, kan?”


Gadis itu terdiam. Apa jawaban awalnya masih kurang meyakinkan? pikirnya. Dia pun terus menggelengkan kepala, bahkan kali ini mulutnya ikut bergerak.


“Iya, bu. Tenang saja. Saya gak kemana-mana.”


Bu Eneng tersenyum sumringah seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiahnya. Gadis itu heran sekaligus penasaran apakah cerita pak Eep sungguh terbukti atau tidak, hingga akhirnya Aldiana memberanikan dirinya untuk bertanya. 


“Bu, kok ibu mastiin kalo saya gak kemana-mana?” tanya Aldiana. Sambil tersipu malu, Bu Eneng mengajak Aldiana duduk di kursi kerjanya sembari memegang tangan Aldiana. 


“Eneng ngingetin saya sama anaknya ibu. Yaaaah, bukan anak kandung sih, tapi ibu anggap dia udah kek anak sendiri.”


Gotcha, ujar Aldiana dalam hati. Ternyata benar yang dikatakan Pak Eep waktu itu.


“-- anaknya cantik, persis kek neng Aldiana. Cuman dia udah menikah dan pindah kerja.” lanjut Bu Eneng dengan ekspresi sendu. “Ngeliat neng Aldiana jadi berasa nostalgia gitu, keingetan sama dia.”


Kepala Aldiana kembali mengangguk. Untuk kali ini, Aldiana tidak menyangsikan lagi kenyataan jika Bu Eneng sangat dekat dengannya. Gadis ini berusaha berpikir positif, mungkin ini adalah langkah awalnya untuk bisa mendapatkan teman dekat yang bisa dianggap sebagai keluarga kedua di kota kecil ini.


~000~



..

.

.

.

.

.


“Neng, nanti jadi ikut rapat sama ibu, kan?”


“Iya bu. Kan tadi saya udah bilang, kan?”


“Oh iya, lupa. Heheheh….”


“......”


~000~


Posting Komentar

0 Komentar