Chapter 2 (section 3)


“Nah, ini surat pernyataannya, bu.”

Aldiana memberikan surat pernyataan waris pada ibu itu sambil tersenyum lebar. Dia pun mulai menjelaskan tentang surat pernyataan itu harus ditandatangani oleh para ahli waris dan pejabat wilayah setempat -- itu pun dia mengulang ucapannya Timothy yang sedari tadi mengajarinya sambil mengetik surat itu. Ibu itu hanya mengangguk pelan sambil menunjuk ke arah nama para ahli waris.

"Jadi, nanti masang materainya disini? Materai yang berapaan ya?" tanyanya singkat. 

"Materai Rp.6000 aja, bu. Masangnya tegak lurus kek gini aja biar semuanya kebagian." jawab Aldiana. "Setelah itu baru tanda tangan RT/RW, lalu kesini lagi untuk dibuatkan surat keterangannya."

"Kedengarannya kok ribet ya?" keluh ibu itu sambil memijit keningnya. Tirta yang menyimak pembicaraan tadi langsung ikut bergabung.

"Prosedurnya memang seperti itu, bu. Alangkah baiknya, ibu hubungi ketua RT dan RW-nya untuk janjian biar ibu nggak bolak-balik." ujar Tirta sambil menatap ibu itu agak lama. "Nanti saya beri nomor ketua RT/RW tempat ibu tinggal sama nomor pegawai disini." 

Ibu itu tampak kikuk saat dipandangi oleh sekretaris lurah itu dan mengangguk pelan. Aldiana hanya menatap pimpinannya itu dengan curiga, jangan-jangan ibu itu kesengsem sama seklur ini? Atau justru--

"Bu Aldiana, mungkin pake nomornya ibu aja buat contact person?" 

Suara Tirta mengejutkan Aldiana dan membuat gadis itu kelabakan. Dia pun mengambil ponselnya dengan terburu-buru dan bersiap untuk mengetik nomornya. "Boleh saya minta nomornya, bu? Biar saya miscall aja." tanya Aldiana dengan suara yang sedikit bergetar. Untung saja, gadis itu tidak gelagapan saat itu.

"Oh iya, nomornya 08 sekian sekian…." 

Jari lentik itu mulai mengetik tiap nomor di keypad ponsel dan mulai menghubungi nomor itu. Begitu sudah ada suara dering, dia langsung memutus panggilan itu dan menyimpan nomor itu. 

"Atas nama…, ibu Aya ya?"

Ibu itu mengangguk pelan. Begitu selesai, ibu itu memohon pamit sambil menggandeng anaknya keluar dari kantor kelurahan. Aldiana dan Timothy menghela napas panjang serempak, merasa jika misi mereka kali ini sudah selesai.

"Yang kek gini sering terjadi, kah?" tanya Aldiana yang disambut oleh anggukan kepala dari Tirta dan Timothy.

"Tiap hari aja pasti ada kek gini, teh." kata Timothy dengan nada lesu. "Aku sih sebenarnya gak masalah, cuman kalo protesnya full pake bahasa sunda ya aku gak bisa. Jadinya suka ditolongin sama pak seklur atau pak lurah."

"Ini pembelajaran buatmu juga." tambah Tirta sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Masyarakat kita itu udah semakin kritis. Ada yang kritisnya ngikutin prosedur, ada juga yang nggak kek ibu-ibu tadi. Sayangnya, masyarakat tipe kedua itu yang lebih banyak karena mereka tidak tau…" 

Tirta menghela napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan lagi.

"... atau mereka mendapatkan info yang salah dari para oknum." 

Aldiana terdiam saat mendengarkan kalimat terakhir Tirta itu. Menyadari ada suasana hening yang intens pada juniornya itu, Tirta hanya berdeham pelan dan bangkit dari tempat duduknya.

"Ya sudah, lanjutin kerjanya. Oh iya, saya minta fotokopi SK CPNS, SK PNS, sama surat penugasanmu ya. Saya mau buatkan dokumen kepegawaian untukmu." 

Aldiana mengangguk pelan setelah terdiam cukup lama. Akhirnya dia pun kembali ke meja pelayanan dan membantu Timothy membuat surat keterangan pada seorang warga yang baru saja datang. Meski raganya tengah mengerjakan sesuatu, namun pikiran gadis itu entah kemana. 

~000~


To be continued...

Posting Komentar

0 Komentar