Chapter 5 (section 1)


Suara-suara dari luar kamar kost bercat kuning pucat itu terdengar begitu nyaring — suara para mahasiswa yang tengah bercanda ria maupun tengah membahas suatu kasus yang sedang dipelajari. Beberapa menit kemudian, Aldiana membuka pintu kamarnya, masuk ke dalam sembari melepas sepatunya lalu meletakkannya di rak sepatu mungil miliknya. Padahal ini sudah masuk jam setengah enam sore, namun suasana tetap ramai di luar sana. Gadis itu maklum karena kostnya ini memang berada di wilayah pendidikan seperti kampus dan juga sekolah sehingga terdengar ramai, apalagi menjelang akhir pekan. 


“Ululululu, mau makan apa ya--” gumam Aldiana bermonolog sendiri sambil mengecek lemari mini dimana gadis itu selalu menyimpan stok makanannya. Berhubung gadis itu tidak memiliki kulkas, yang bisa disimpan olehnya hanyalah makanan instan seperti mie instan, bubur instan, bahkan makanan kalengan. Kalo dia ingin memasak, dia hanya memiliki water heater yang sudah dipakai olehnya sejak kuliah dan rice cooker mini. Itupun dia lebih sering menggunakan water heater ketimbang rice cooker


Gadis itu mendengus kecil. Mie instan miliknya hanya tinggal dua bungkus, selai coklat hazelnut yang tinggal sepertiganya, dan beberapa buah kopi susu sachet. Sementara itu, dia merasa malas untuk pergi ke minimarket sehingga dia pasrah dengan keadaan minim logistik itu. Mulutnya bergumam pelan dengan nada menggerutu seakan-akan dia menyesali kenapa dia tidak sempat mampir dulu ke minimarket saat pulang kerja.


“Besok saja deh ke minimarket. Sekalian olahraga saja.” gumamnya lagi sambil mengambil satu sachet kopi susu untuk diminum. Di saat itu, ponselnya berbunyi pertanda ada pesan masuk disana. Begitu gadis itu mengecek ponselnya, ternyata si pengirim pesan adalah Syifa. 


Sasuuuuh, VC yuk! Kangen nih!


Aldiana tersenyum kecil. Tidak lama, dia pun menekan tombol video call dan langsung tersambung pada sasuhnya itu. Di ujung sana, terlihat seorang gadis berkerudung merah jambu pastel dan tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya ke arah kamera.


“Hai sasuhkuuu! Kangen deh!” seru Syifa dengan nada manja. Aldiana tertawa saat mendengar nada manja itu.


“Hahahah, ya ampun. Belum ada sebulan kita nggak chit-chat udah kangen aja!” balas Aldiana. “Btw, lagi apa ni? Itu masih di kantor?”


“Iyep! Masih ada kerjaan, jadinya ngelembur dulu. Mumpung besok libur, jadinya sekalian deh, hehehe!”


Aldiana tertawa kecil. Dia memaklumi jika sasuhnya ini sering lembur karena dia bekerja di bagian perencanaan di sekretariat daerah. “Yah yah, miss sibuk mah bebas yak! Heheheh…”


“Yeee…” gumam Syifa sambil menggembungkan pipinya dan memasang ekspresi cemberut. Tak lama, ekspresi itu berubah menjadi ekspresi penasaran. “Hey, gimana kesanmu saat bekerja di kelurahan?”


“Hah, maksudmu?”


“Yah, kamu betah gak di kelurahan?”


“Hmmmm, gimana ya.” gumam Aldiana sambil menyentuh dagunya. “Kelurahan itu terlalu santai, tapi juga terlalu hectic di waktu-waktu tertentu. Yah, tapi lebih banyak santainya sih.”


“Wuaaaaah, asik kalo gitu! Kamu punya banyak waktu bersantai! Udah mulai betah nih keknya.” kata Syifa lagi. Dibilang begitu, Aldiana pun menggeleng cepat.


“Nggak juga. Setiap kegiatan disana, pasti teringat dengan kantor lamaku. Hhhhh, susah move on nih…”


“Itu nggak aneh sih. Butuh adaptasi yang cukup lama biar kerasan di kantor baru.” kata Syifa sembari menganggukkan kepala. “Lalu, disana ada alumni kampus kita juga?”


“Ada, dua orang. Mereka itu senior kita beda lima angkatan.” gumam Aldiana sambil memutar matanya ke atas seperti sedang berpikir. “Oh iya, aku ngerasa takjub kalo dalam satu kantor ada dua orang seangkatan yang menjabat lurah dan sekretaris lurah.” 


“Oh iya kah? Itu unik kalo menurutku!” ujar Syifa antusias. “Ceritain dong soal mereka!”


Aldiana berdeham ketika akan membicarakan Surya dan Tirta saat itu. Setelah terdiam beberapa menit, dia pun mulai berbicara. “Ehem, kalo sekretaris lurahku itu namanya Tirta Wardhana. Dia asalnya dari NTB. Mukanya kek judes gimana gitu, tapi sifatnya beda jauh sama mukanya. Kek karakter komik yang sering kubaca, bedanya dia muka tembok gitu deh, tapi baik.”


“Wohooooo, trus gimana?”


“Dia udah nikah, sasuh. Udah punya dua anak pula.”


“Yaaaaaaah….” gumam Syifa dengan nada kecewa di ujung sana. “Padahal bisa kamu gebetin lho!”


“Dih gile aja gebetin suami orang!” seru Aldiana diselingi tawa geli dari bibirnya. “Ehm, mau lihat fotonya gak? Kebetulan ada fotonya dari dokumentasi kegiatan kemarin-kemarin.”


“Ih mau!”


Aldiana mulai membuka laman chat miliknya dan mengirim satu foto disana. Tidak lama kemudian, Syifa melihatnya dan langsung memasang ekspresi terkejut. “Astaga, ini mah ganteng banget! Tipekuuuu!!”


“Yak, gitu dah kalo kamu ketemu cowok ganteng!” balas Aldiana sembari terbahak. Syifa hanya bisa memasang ekspresi merengut. 


“Kalo gitu, ceritain dong soal lurahmu!”


“Ah gimana ya--” Aldiana menggaruk pipi dengan satu jarinya. “Aku belum tau banyak soal dia sih. Aku cuman tau asalnya dia dari Kutai Kartanegara, itupun dari pak seklur. Kalo dari wajah, dia itu kek oppa-oppa Korea atau cowok ikemen-nya Jepang gitu deh--”


“EH SERIUS!?” seru Syifa setengah berteriak dan wajahnya didekatkan ke kamera terlalu dekat hingga Aldiana terkejut. Saking kagetnya, Aldiana nyaris melepas ponsel dari tangannya sendiri.


“Njir, kaget--”


“Aku mau lihat fotonya dong!” 


“I-iya sabar, neng--” gumam Aldiana sambil mengecek folder foto di ponselnya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia menemukan fotonya, itupun foto lurahnya yang difoto secara tidak sengaja. Gadis itu langsung mengirimkan foto itu pada temannya di laman chat itu. Tidak lama, Syifa menjerit kencang.


“KYAAAAAAAAA--!”


“Kenapa pula ni?” ujar Aldiana keheranan.


“INI MAH GANTENG BANGET!” seru Syifa dengan wajah berseri-seri seperti seorang fans yang baru saja bertemu dengan idolanya langsung. “Aku gak percaya kalo dia senior beda lima tahun dari kita!”


“Tenang, sasuh. Gak cuman dirimu saja yang menjerit begitu.” jawab Aldiana santai. “Seluruh pegawai mengakui itu kok, hehehe.”


“Trus trus apakah dia udah menikah?” 


Aldiana hanya mengangkat bahunya. Hanya hal itu yang belum diketahui olehnya selama beberapa hari bertugas di kelurahan namun Aldiana tidak ambil pusing, untuk apa juga dia penasaran dengan kehidupan pribadi seniornya itu? Kecuali jika dia menceritakannya seperti yang Tirta lakukan. Syifa hanya memiringkan kepalanya saat melihat respon saudara asuhnya itu. 


“Berarti belum yak?”


“Aku gak tau.” ungkap Aldiana singkat. “Aku gak pernah nanyain, dia juga gak pernah cerita soal kehidupan pribadinya. Tau asalnya aja dari pak seklur kok.”


“Hmmm, kalo misalnya masih jomblo, bisa tuh dipacarin. Lagian kamu masih jomblo juga kan?” tanya Syifa dengan senyum iseng. Aldiana hanya menanggapi dengan dengusan kecil.


“Idih…”


Obrolan itu terus berlangsung dan terus berganti topik tanpa sadar waktu telah berlalu cukup lama. Meskipun selama itu, Aldiana cukup senang ketika sahabatnya itu menelepon karena baginya, Syifa sudah seperti saudaranya sendiri sejak kuliah. 


~000~

to be continued

Posting Komentar

0 Komentar