#DirgahayuSurya2412 (section 4)



“Selamat datang!” 


Tirta dan Surya memasuki area kafe dan langsung duduk di kursi yang kosong. Saat disana, Surya membaca menu yang tersedia di meja mereka dan sesekali mengelus dagunya.


“Mau pesan apa?” tanya Tirta sambil menoleh ke arah Surya. 


“Moccacino saja.” ujar Surya mantap. “Kalo kamu?”


“Hmmm, es teh manis saja.” 


“Apa aku yang akan pesankan di kasir?” tanya Surya seraya beranjak dari kursinya. Di saat itu, Tirta langsung menahannya dan membiarkannya duduk kembali di kursinya. 


“Biar saya saja.” kata Tirta singkat. Surya hanya merespon dengan anggukan dan melihat rekan angkatannya itu berjalan menuju kasir. 


Begitu Tirta sampai di kasir, dia disambut oleh petugas disana dan juga seseorang yang sangat dikenal oleh Tirta -- lebih tepatnya oleh Tirta dan Surya. Seorang pria berusia sekitar setengah abad berpakaian kasual nan santai dan tersenyum ramah pada Tirta.


“Izin bang Rendi.” sapa Tirta membalas senyuman pria yang disebut sebagai Rendi itu. Yang disapa hanya mengangguk dan mengayunkan telapak tangannya pelan. 


“Gak usah salaman, nanti menarik perhatian yang berulang tahun.” gumam Rendi dengan volume suara yang kecil. 


“Jadi gimana bang? Udah siap?” tanya Tirta lagi. 


“Udah. Kulihat semuanya udah siap. Stafmu aja udah kek mbah dukun aja, komat-kamit ngecek keperluan.” jawab Rendi diselingi dengan tawa kecil. Ternyata reaksi kedua pria itu menarik perhatian Surya saat itu. Menyadari lawan bicara Tirta adalah seniornya, Surya langsung bangkit dari kursinya dan menghampiri kasir itu.


 “Izin bang…” sapa Surya sambil menyalami Rendi. Dia pun ikut menyalami juniornya itu.


“Hai, Surya! Gimana kabarnya? Makin tampan kali, kau!”


“Bisa aja, bang. Hehehehe…” Surya terkekeh ketika Rendi memujinya. “Oh iya, tadi udah dipesenin, Tirta?” 


“Ini lagi pesan kok.” kata Tirta. “Kami pesan satu moccacino dan satu es teh manis aja.”


“He? Gak sama makanannya?” tanya Rendi lagi. 


“Hmmm, palingan roti bakar rasa coklat aja dua-duanya.”


“Awwww, kalian so sweet banget ya.” goda Rendi usil dan membuat dua pemuda itu salah tingkah. “Oke deh, kuulangi pesanan kalian ya. Satu moccacino, satu es teh manis, dan dua roti bakar rasa coklat. Udah?”


“Iya gitu aja dulu, bang.” 


“Oke. Tolong dihitung ya, dek.” instruksi Rendi pada petugas kasir di sampingnya. Petugas itu memencet layar tablet beberapa kali dan sebuah alat pencetak struk langsung mencetak struk pesanan Tirta dua kali. Satu kertasnya diberikan pada Tirta dan satunya lagi dipegang oleh petugas itu. 


“Harganya 85 ribu.” kata Rendi memberitahukan total harganya. Tirta mengangguk dan mengecek isi dompetnya lalu dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sana dan memberikannya pada petugas kasir. Begitu transaksi usai, Tirta dan Surya kembali lagi ke kursinya masing-masing. Ketika duduk, Tirta mengambil ponselnya dan mengecek notifikasi yang baru saja dia terima. Jari-jari tangannya bergerak cepat membalas pesan tadi.


“Tadi kamu yang bayar ya? Sini, kubayar yang bagianku.” kata Surya pada Tirta yang masih fokus dengan layar ponselnya. Yang diajak bicara agak gelagapan karena belum siap merespon. 


“O-oh! Sori…, apa tadi?”


“Aku mau bayar bagianku.”


“Gak usah, Sur.” 


“Hah?”


“Iya gak usah. Saya yang traktir kok.”


“Tirta, tapi kan--” 


“--SELAMAT ULANG TAHUN, PAK SURYA ARKANANTA!” 


Suara beberapa orang yang sangat dikenal membuat Surya langsung menoleh ke sumber suara. Aldiana dan beberapa pegawai kelurahan muncul dari balik pintu sambil membawa kue glasir berwarna ungu dengan hiasan potongan buah jeruk dan ceri, tak lupa dengan beberapa lilin di atasnya, dan juga confetti yang diletuskan ke langit-langit. Seakan mendukung suasana suka cita itu, band pengiring di kafe itu membawakan lagu Selamat Ulang Tahun dari band Jamrud. Kejutan itu tentu saja menarik perhatian pengunjung lain dan mereka ikut bertepuk tangan dengan meriah. 


“Kalian--” Ekspresi terkejut tampak jelas di wajah lurah muda itu. Beberapa detik, ekspresi terkejut itu berubah menjadi haru. Dia pun menatap Aldiana yang kini berada di depannya dan membawakan kue glasir ungu itu. 


“Selamat ulang tahun, bang. Sukses selalu ya.” kata Aldiana dengan tulus. Surya membalas ucapan Aldiana dengan segaris senyuman. 


“Terima kasih, Aldi. Aku--” 


“Selamat ulang tahun, bapak!” potong Timothy mendadak sambil meletuskan confetti tepat di tengah-tengah mereka. “Ini perayaan pertama bapak dari kami! Yay!”


“Tiup lilinnya, tiup lilinnya!” ujar Eep heboh. 


“Astaga, pak lurah aja belum make a wish lho!” sergah Pak Enda. 


"Wuih, pak Enda paham geuning soal make a wish gitu!" goda Bu Eneng. Semuanya pun tertawa renyah mendengar itu.


"Ya sudah, kita beri kesempatan pada pak lurah untuk meniup lilinnya." ujar Pakkei menenangkan suasana. Surya hanya tersenyum malu-malu ketika suasana yang riuh itu perlahan menjadi hening.


"Ehem--" Surya berdeham sebelum melanjutkan. "Sebelumnya aku mau berterimakasih pada seluruh pegawai kelurahan Karamat yang sudah menyiapkan ini semua. Sepertinya kalian udah bekerjasama dengan pak Rendi ya buat nyiapin ini semua…"


"Oh tentu! Sponsor utama ini!" ujar Rendi yang ternyata sedang sibuk mendokumentasikan situasi dengan ponselnya. Jawaban itu membuat semuanya kembali tertawa renyah.


"Ayo, Sur. Saatnya berdoa dulu lalu tiup lilinnya." kata Tirta singkat. Surya mengangguk pelan dan mulai menundukkan kepalanya. Beberapa menit, akhirnya pemuda itu mengangkat wajahnya dan meniup lilin-lilin itu hingga padam.


"Horeeeeee!" 


Suara tepuk tangan itu kembali menggelegar di seluruh penjuru kafe dan satu per satu, para pegawai itu bersalaman dengan Surya. Acara itu dilanjutkan dengan potong kue, pembagian kue, dan Surya harus tampil bernyanyi bersama dengan para pemain band disana. Kemeriahan itu semakin bertambah ketika beberapa senior dan juniornya datang dan ikut meramaikan acara ulang tahun itu.


Lurah muda itu tersenyum lebar. Perasaan haru dan suka cita benar-benar sangat dirasakan olehnya. Kini dia sungguh bersyukur, dia memiliki rekan kerja yang baik dan juga perhatian padanya meskipun dia mengakui selama dua tahun kepemimpinannya sebagai lurah, mereka baru bisa memberikan kejutan ini sekarang. 


Biarlah, mereka ingat pun sudah patut disyukuri bukan?, pikirnya.


"Bang, ini kuenya abang." kata Aldiana membuyarkan lamunan Surya sambil menyodorkan sepiring kue glasir padanya. Surya menerima kue itu dan tersenyum kecil.


"Makasih." ucapnya singkat.


"Oh iya, aku penasaran. Tadi keknya abang mau ngomong sesuatu ya pas mau tiup lilin tadi?" 


Surya tertegun. Dia terdiam cukup lama hingga akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah lain.


"Apa ya tadi? Sepertinya aku lupa." 


"Yah, abang mah…"


~000~


#DirgahayuSurya2412 - The End -


Posting Komentar

0 Komentar