Chapter 7 (section 3)



Keesokan harinya, Aldiana menemui Pak Eep dan berniat bertanya mengenai Bu Eneng padanya. Beruntung, saat itu Bu Eneng tidak masuk kerja karena ada keperluan mendesak sehingga Aldiana bisa bertanya pada Pak Eep secara leluasa. Tidak etis kan jika membicarakan seseorang ketika orang itu sedang berada di dekat kita?

“Jadi begitu ceritanya, neng!”

“Hah, begimana?” Aldiana tampak cengo begitu mendengar jawabannya. “Pak, diulang dong!”

“Yaelah eneng…” Pak Eep manyun ketika harus mengulang ceritanya lagi. “Begini lho neng, dulu tuh emang ada pegawai perempuan sebelum neng Aldiana disini.”

“Hooooo, trus gimana? Deket banget sama bu Eneng ya?” tanya Aldiana lagi.

“Yah, deket banget. Dia masih muda banget waktu itu, cuman dia itu tenaga honorer kek Moty. Agak pemalu, tapi gampang senyum kalo ketemu orang. Dulu dikirain dia kenapa-kenapa gitu karena sering senyum-senyum sendiri, hehehe.”

“Trus gimana?” 

“Errr, waktu itu bu Eneng emang sering banget ngajakin dia kemana-mana. Mau meninjau lapangan ikutan, mau rapat juga ikutan, wah nempel banget deh. Bu Eneng emang bilang kalo beliau lebih suka bergaul sama perempuan daripada sama laki-laki.” 

“Hmmmm, gak ada yang aneh.” gumam Aldiana sambil menerawang. “Trus gimana lagi?”

“Setahun sebelum pak Surya sama pak Tirta disini, si pegawai ini teh pindah keluar kota karena ikut suaminya. Kemana gitu, pokoknya jauh deh. Dari sejak saat itu, bu Eneng kesepian karena nggak ada pegawai perempuan lagi.”

Aldiana mengangguk paham, setidaknya gadis itu memahami kenapa bu Eneng bersikap seperti itu padanya. Namun keningnya kembali berkerut, terasa ada yang masih mengganjal. 

“Meskipun beliau akrab sama cewek-cewek, tapi saya gak yakin apakah beliau beneran akrab sama semua cewek. Pasti pilih-pilih juga.” gumam Aldiana lagi. “Nah, kenapa ke saya kek udah akrab banget pas pertama ketemu ya?”

Pak Eep menggaruk dagunya dan terdiam sesaat. Di saat itulah dia menatap ke Aldiana cukup lama hingga akhirnya menepuk tangannya sendiri. 

“Saya tau alasannya kenapa.”

“He?”

“Wajahnya mirip sama pegawai yang itu tuh.”

“Hah?”

Aldiana terdiam. Ekspresinya begitu bingung ketika mendengar jawaban itu. Rasanya terlalu mudah jika alasan Bu Eneng begitu dekat dengannya -- bukan, ini terlalu absurd baginya. Gadis itu tidak percaya dan hanya bisa menggaruk dagunya yang tidak gatal.

“Kenapa neng? Kek bingung gitu.” tanya Pak Eep penasaran.

“Ya bingung dong, pak. Rasanya jika hanya karena wajah itu tuh terlalu absurd gitu buatku…” sahut Aldiana sambil terus menggaruk dagunya.

Pak Eep berdeham sebentar dan mengeluarkan ponsel pintar dari saku celananya. Jarinya bergerak cukup gesit saat menyentuh layar ponselnya itu dan tidak lama, dia pun menunjukkan sebuah foto pegawai kelurahan beberapa tahun yang lalu. Fotonya begitu buram dikarenakan resolusi gambar yang kecil, namun setidaknya masih tampak rupa di foto itu. 

“Nah, yang ini, neng.” kata Pak Eep sambil memperbesar fokus di foto itu dan menunjuk seorang gadis muda yang ada di foto itu. Mata Aldiana membesar ketika melihat rupa itu. Dia sungguh tidak percaya.

Secara rupa, gadis itu begitu mirip dengan Aldiana. Perbedaannya hanya pada warna rambut dan tinggi badannya. Gadis itu begitu mungil -- mungkin sekitar 150 cm kira-kira -- dan memiliki rambut berwarna hitam. Dia tampak tersenyum bahagia di foto itu dengan seluruh pegawai kelurahan di masa itu. 

“Nah gimana? Percaya kan?” tanya Pak Eep dengan senyum mengembang. Aldiana yang masih terpana hanya bisa mengangguk tanpa mengucap sepatah kata apapun.

~000~

Posting Komentar

0 Komentar