Dua hari kemudian, Aldiana tengah membawa file yang berisi data DKM yang telah dicetak dan disetujui oleh Surya kemarin. Ketika akan berangkat, Bu Eneng menghampiri dirinya dan memasang ekspresi senyum yang terkesan genit. Aldiana yang melihatnya hanya bisa membalas senyumannya dengan senyum canggung.
"Mau berangkat, kan? Bareng sama ibu aja." ucapnya dengan nada yang sama seperti ekspresinya saat ini.
"Ng, anu. Saya udah janjian sama pak Seklur buat ke Setda hari ini." kata Aldiana dengan nada pelan. Dijawab begitu, Bu Eneng tampak kurang berkenan -- terlihat dari ekspresinya yang murung.
Aldiana jadi canggung. Kenapa jadi begini?, pikirnya.
“Ah, kenapa masih disini? Ayo kita berangkat.” sapa Tirta sambil membawa kunci mobilnya di tangan. Aldiana yang canggung langsung menganggukkan kepala dan pamit pada Bu Eneng saat itu.
“Sa-saya duluan…” ucap Aldiana dengan gugup lalu masuk ke dalam mobil seniornya itu. Begitu mobil dinyalakan dan meninggalkan area kantor, Aldiana menghela napas panjang dan ekspresinya tampak murung.
“Dek, ada sesuatu?” tanya Tirta yang tampaknya menyadari perubahan air muka Aldiana saat itu.
“Ng, maksudnya?”
“Yah, kamu tampak murung gitu. Ada masalah?”
Aldiana menarik napas panjang lagi sebelum akhirnya melanjutkan. “Dibilang masalah sebenernya juga bukan, tapi--”
“Tapi?” ulang Tirta penasaran.
“Sepertinya Bu Eneng kurang berkenan saat aku pergi bersama kak Tirta. Beliau emang ngajakin pergi bareng gitu.”
“Ho? Tau gitu, tadi seharusnya saya biarkan kamu pergi sama beliau ya?”
“Eh, ehem bukan gitu!” elak Aldiana. “Tapi tadi rasanya aku agak gak enak. Akhir-akhir ini, beliau agak gimana ya. Sering memuji berlebihan, terus juga agak manja. Aku kurang nyaman sebenernya tapi yah--”
"Intinya, lagi ada perasaan gak nyaman sama Bu Eneng?" potong Tirta. Beberapa detik gadis itu terdiam sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Hm, kalo dari pengamatan saya selama ini sih, beliau nggak terlalu aneh sih buat saya." kata Tirta sambil tetap fokus menyetir. "Beliau memang sering memuji seluruh pegawai dan juga memasak untuk kami saat makan siang. Bahkan, beliau pernah mentraktir makanan cepat saji setelah kami dapet juara lomba kelurahan tingkat provinsi. Jadi, saya pikir nggak ada keanehan yang mengganggu."
"Tapi aku ngerasa gak nyaman jadinya…" gumam Aldiana lesu. "Apa sebelum aku kesini, sudah ada pegawai perempuan di kelurahan? Maksudku, selain Bu Eneng."
"Belum ada. Itu sih selama saya dan Lurah Surya ditempatkan disana lho ya." jawab Tirta lagi. "Coba tanya ke Pak Eep. Beliau lebih senior kalo urusan kantor kelurahan."
Jawaban yang kurang memuaskan bagi gadis itu, tapi setidaknya dia mendapatkan petunjuk untuk mengetahui alasan Bu Eneng bersikap begitu padanya. Akhirnya, Aldiana berniat untuk menanyakan hal ini pada Pak Eep ketika mereka bertemu nanti.
~000~
0 Komentar