![]() |
Source: http://chittagongit.com//images/social-media-icon-png/social-media-icon-png-17.jpg |
Keknya ini adalah cuap-cuap kedua soal social media alias medsos dariku setelah dulu sempat ngebahas disini. Kenapa aku mau ngebahas topik ini lagi? Apa gak bosen? Yah, kali ini aku ngebahasnya dari sisi lain. Errr, cuap-cuap kali ini berdasarkan apa yang kualami dari dulu hingga sekarang.
Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin berkembang pesat bahkan sampe ke urusan sosial, mulai dari friendster, multiply, bahkan sekarang lagi jamannya facebook, instagram, LINE, Path, WhatsApp, twitter, dan beberapa platform lain yang memudahkan kita untuk bertemu banyak orang meski lokasinya berjauhan. Bahkan hebatnya, kita bisa ketemu kenalan yang akhirnya jadi partner-in-crime bahkan jodoh hanya karena sering berakrab ria di medsos lho!
Tapi taukah kamu, ada sisi lain di balik gemerlapnya medsos....
Pernah gak sih ngerasa gak nyaman dengan diri kita sendiri setelah scroll linimasa di akun medsos sendiri? Bahasa gaulnya sih, insecure -- btw, ini kan kata bahasa Inggris, tapi kok aku nyebutnya bahasa gaul yak? Wakakakak //gubrak -- gitu. Nah, aku sendiri ngalamin itu sejak aku mulai bekerja hingga saat ini. Cukup aneh kalo kupikir-pikir, padahal aku mulai punya akun medsos seperti friendster pas aku SMP lalu punya akun facebook pas SMA, tapi rasa gak nyaman itu baru kurasakan pas aku bekerja (sekitar umur 23 kalo gak salah) dan makin lama makin membesar.
Kalo yang sering mantengin post uneq2-ku yang paling awal disini, pasti udah familiar dengan satu kata ini: 'trauma'. Yap, aku mulai nulis lagi di blog pas masa-masa kacau itu. Masa-masa aku belum bisa menerima diriku apa adanya, masa-masa patah hati karena aku 'diputusin' sama tiga orang sekaligus, dan yang paling utama adalah masa-masa paling insecure. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menelantarkan akun fb yang kupunya karena puncak permasalahanku disana sejak tahun 2017. Setelah itu, aku memilih untuk stay di IG setelah sekian lama hiatus cukup lama disana. Itupun aku mengubah username tanpa pemberitahuan ke followers. Beberapa bulan kemudian, akhirnya aku membuat akun twitter baru dan menelantarkan akun lama karena ada 'luka lama' yang sama disana.
Trus apakah setelah itu happy ending? Gak juga.
Hampir di setiap waktu aku mengomel tentang keadaanku sendiri, mostly aku ngeluh soal itu di instastory pada teman-teman terdekat. Biasanya yang kukeluhkan adalah soal popularitas. Yep, berhubung akun IG-ku adalah akun gegambaran, aku akan mengalami insecure kalo ngeliat post gambar seseorang mencapai like ratusan atau malah ribuan dan followers yang bisa mencapai puluhan ribu. Lebih jleb lagi kalo di profilnya dicantumin umur si pemilik akun yang ternyata masih sangat muda dibandingin aku sendiri.
Adeu, di umur segitu gambarnya dewa banget, eh? Aku umur segitu masih jadi wibu menahun //nanges
Nah, kalimat di atas adalah salah satu contoh insecurity aku selama ini. Saking seringnya aku ngomel soal keadaan ini, salah satu teman lamaku akhirnya 'gerah' dan memutuskan untuk menasehati aku via DM IG. Aku sendiri cukup wow gitu mengingat teman lamaku ini adalah superstar di platform ini dan kupikir udah gak bisa kujangkau lagi. Ahay, bisa ae bahasaku. XD
Akhirnya aku dapat kesimpulan kek gini, semakin aku sering nge-scroll linimasa medsos, maka akan semakin kacau kondisi mentalku. Apapun medsosnya lho. Ada perasaan takut yang beragam, mulai dari takut ketinggalan trend, takut kehilangan followers karena jarang posting, sampe takut dengan kondisi diri sendiri saat ini yang berujung jadi iri hati ke orang lain dan ingin mencari perhatian dengan cara yang kurang baik. Tau haters kan? Bisa saja dia hate speech bukan karena dia murni nggak suka, tapi cuman mau nyari perhatian dan sensasi aja. Contoh lainnya sih, kek nge-rant tapi sebenernya udah tau apa solusinya sehingga bikin para netizen gemas dan akhirnya 'nge-bully' rame-rame. Istilahnya gaulnya sih, FOMO alias fear of missing out.
Apa sih FOMO itu? FOMO itu jadi semacam kondisi nggak nyaman di saat ketinggalan suatu kejadian terkini dan ngeliat orang bersenang-senang. Err, gampangnya gini sih, kita bakalan ngerasa gimana gitu kalo kita nggak apdet sama yang terjadi di medsos. Kalo di tempatku ini ada yang namanya joining the bandwagon alias ikut-ikutan trend yang lagi ngehits di medsos -- biasanya sih tentang challenge gitu. Kalo gak ikutan tuh asa gimana gitu bawaannya, akhirnya ikutan deh. Kalo trendnya bertujuan positif sih bagus banget, tapi kalo yang agak sensitif, mungkin harus dipikir-pikir dulu deh ya daripada bablas.
Tapi coba deh tanya sama diri masing-masing, ngikut trend kek gitu emang bikin senang atau malah membebani? Aku pernah ngerasain dimana aku pengen joining the bandwagon tapi malah jadi beban karena ada sisi lain yang mengharuskan aku untuk mengurusi hal lain terlebih dahulu, tapi sisi satunya lagi pengen ngikutin trend secepatnya sebelum akhirnya kelar. Akhirnya gimana? Yah, tetap gak dilaksanain karena terlalu stres milih yang mana! Hadeuh!
Apakah yang ngalamin ini aku aja? Orang lain juga ada kok.
Gak aneh kalo di linimasa suka ada post bernada negatif, mulai dari anxiety bahkan berujung ke post yang berbau suicidal. Selain karena mumet dengan kondisi di dunia nyata pada setiap orang, mumet juga dengan isi linimasa yang nggak ada adem-ademnya. Kalo mau jujur, aku sering nemuin ini di fb dan akhirnya ketularan energi negatifnya. Belum lagi ada sistem algoritma linimasa yang bikin post yang muncul itu adalah post yang lebih banyak interaksi ketimbang yang baru, makin kacau lagi dah kondisi mental. Misalnya aja post teratas itu adalah post seseorang yang begitu ngehits dari like-nya, komennya, dan apapun itu lalu kita ngerasa nggak bisa kek dia, kita mau ngehindarin seperti nge-refresh linimasa lalu voila! Malah muncul lagi postnya, paling atas pula! //wheeze
Ngeselin ya punya medsos tuh? Mau bersenang-senang eh malah tambah mumet. Tapi butuh juga uy, galau men!
Gimana caranya biar nggak insecure lagi di medsos? Yah, banyak caranya sih, tapi intinya balik lagi ke diri sendiri. Bisa ngendaliin diri sendiri nggak? Ada dua pilihan: 'nyepi' dari medsos atau tetap terus maju. Kalo dirimu memilih pilihan yang kedua, good job! Berarti dirimu adalah orang yang bisa mengendalikan dirimu sendiri dan menganggap medsos hanya selingan biasa.
Kalo masih belum bisa, ada baiknya memilih pilihan pertama. Nggak terlalu aktif di medsos lalu ketinggalan trend bukan hal yang buruk kok. Positifnya, bisa fokus ke hal-hal yang lebih penting seperti pekerjaan utama, keluarga, dan juga diri sendiri. Jika masih pengen seliweran di dunia maya, bisa saja melakukan hal-hal yang meningkatkan produktifitas seperti ikutan webinar, nonton video-video yang edukatif, atau bersenang-senang sendiri seperti nge-game atau melakukan hal baru. Contohnya kek aku yang nulis artikel di blog ini. Yah, maklum, blog ini emang jadi pelarianku biar nggak keterusan insecure di medsos. Kalo aku nge-rant di medsos, berarti kebablasan blas. //heu
Seandainya ketemu orang-orang yang bikin postingan insecure gimana? Bisa ditolong dengan cara diajak ngobrol. Tapi kalo pertanyaannya gitu-gitu aja dan bikin gemas gimana? Ada dua pilihan juga, yaitu tanggapi dengan bahasa yang wajar atau biarkan saja. Kenapa dibiarkan? Itu lebih baik daripada berkomentar sinis dan negatif. Selain bikin si pemilik postingan makin parah insecure-nya -- atau malah jadi ajang pansos, toh komentar itu nggak bikin dirimu jadi orang paling baik.
Ah, love-hate relationship dengan medsos..... //seruputkopi.
0 Komentar