Suasana begitu tegang saat itu. Tatapan tajam pegawai kelurahan yang ada di ruang pelayanan itu membuat pria itu sedikit jiper.
"Lha, bukannya yang bikin ini kelurahan ya? Ada cap dan tanda tangannya tuh?" tanya pria itu balik. Moty menggelengkan kepala lalu menunjukkan arsip surat yang baru saja dibuat oleh mereka.
"Maaf sebelumnya pak, surat keterangan yang dikeluarkan oleh kelurahan itu formatnya seperti ini." kata Moty sambil menaruh arsip itu di sebelah surat keterangan lainnya. Benar saja, formatnya sangat berbeda jauh -- kerapihan tulisan, cap dan nama lurahnya sangat berbeda jauh. Air muka pria itu semakin tegang.
"Berarti ini palsu?!" pekik pria itu tidak percaya. Tirta menghela napas panjang saat mendengar respon pria itu.
"Iya. Sayang sekali, pak. Bapak punya semua surat keterangan ini palsu semua."
Pria itu menggelengkan kepala seperti tidak percaya dengan kenyataan di depan matanya. "Masa sih? Ka-kata si itu, ini suratnya emang bener dari kelurahan!"
"Kalo emang sepuluh orang ini datang ke kelurahan, pasti kami punya data register dan arsipnya!" balas Moty sedikit emosi. "Teh Aldi yang mengurus semua data yang masuk, pasti dia tau jika mereka ngurus ke kelurahan!"
"Ehm yah, saya yang ngurusin data pelaku UMKM, pak." kata Aldiana sambil tersenyum canggung. "Kalo ngurusnya ke kelurahan sih, udah pasti saya masukin datanya lebih awal meski mereka ikut daftar di jalur lain."
"Lalu, tadi bapak menyinggung 'si itu'. Siapa dia?" tanya Tirta tegas.
"Ehm, dia itu teman yang bantuin kami untuk mengurus surat keterangan ini. Dia menawarkan bantuan gitu dan kami menerimanya karena sepuluh orang ini pada sibuk semua. Jadinya ya gitu…."
Ekspresi Tirta begitu menegang. Meski begitu, Tirta berusaha untuk tetap tenang. “Bapak ikut saya ke ruangan. Jika disini, akan menimbulkan keributan dari warga yang datang untuk pelayanan. Bu Aldiana dan Moty, ikut saya juga. Jangan lupa bawa berkas dan buku registernya.”
“A-ah, siap pak!” seru Aldiana sambil merapikan berkas yang dimaksud.
“Lalu bapak--”
Tirta melihat pria itu dengan ekspresi yang lebih keras dari biasanya. Tatapan tajamnya mengisyaratkan agar pria itu tidak berbuat macam-macam. Pria yang ditatap itu hanya terdiam ngeri.
“--Tolong telpon yang membuat surat itu. Saya akan menghubungi pak lurah dan Bhabinkamtibmas.”
“I-iya pak…”
Pria itu mulai mencari ponselnya di saku celananya dan berjalan bersama Tirta, sementara Aldiana dan Moty mengikutinya dari belakang.
~000~
to be continued
0 Komentar